Wednesday, April 20, 2011

Pemberantasan Korupsi

Oleh: Hj. Siti Adimurwani Darwinto

Pensiunan Bank BRI tinggal di Yogyakarta


Di Warta Pamitran Edisi bulan Juni 2010, Ibu Hj Rulianti mengajak kita semua untuk introspeksi diri apakah kita pernah melakukan korupsi, termasuk korupsi yang sifatnya ringan seperti membolos tidak masuk kantor. Selanjutnya, kita diajak pula untuk merenung, namun tidak langsung melakukan pembenaran dan secara jujur mencari solusi dengan tawaran melakukan 4 langkah sebagaimana disampaikan pada akhir tulisan beliau. Ajakan bu Ruli tersebut, menurut hemat penulis merupakan langkah individu yang sangat baik untuk diri kita masing-masing.

Disamping langkah individu, ada juga langkah kolektif, sebagaimana pengalaman penulis berhubungan dengan perusahaan yang berupaya memberantas korupsi melalui langkah nyata meskipun hanya langkah-langkah kecil. Sharing pengalaman ini mudah-mudahan bisa menjadi penyejuk hati bahwa sebenarnya banyak fihak yang ingin juga memberantas korupsi di negeri ini. Setidak-tidaknya merupakan cerita dari sisi lain, tidak hanya berita korupsi yang meraja lela saja, tetapi kita punya teman yang berusaha memberantas korupsi di mulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan.

Cerita ini merupakan pengalaman kira-kira 6 tahun yang lalu, saat penulis mendapat musibah, yaitu anak tercinta mengalami kecelakaan lalu lintas di Yogya yang berakibat meninggal dunia. Duka cita yang dalam menyelimuti hati kami sekeluarga, namun sungguh Alloh Maha Pengasih dan Maha Penyayang, menggerakkan hati Saudara-Saudara kami dengan memberikan dukungan moril maupun materiil dan bantuan banyak hal lainnya. Terima kasih kepada Saudara-Saudaraku semua, semoga kebaikannya dicatat Alloh sebagai amal yang mendatangkan pahala. Amiiiin.

Diantara sekian banyak bantuan yang kami dapatkan adalah pengurusan santunan asuransi Jasa Raharja, yang diselesaikan Suadara-Saudara kami keluarga Kanwil BRI Yogya. Beberapa waktu kemudian kami menerima panggilan dari Jasa Raharja di Jakarta (sesuai alamat KTP almarhum) untuk mendapatkan santunan sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupaiah). Saat itu kami datang ke kantor Jasa Raharja di Jakarta Pusat, menghadap Kepala Kantor yang namanya Pak Djoko. Beliau bertanya, apakah dalam mengurus santunan tersebut sudah keluar biaya? Berapa besarnya? Jujur kami katakan bahwa saya tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun karena diurus oleh teman-teman BRI Yogya, dan kami sudah menanyakan kepada teman-teman BRI Yogya, katanya tidak membayar apapun. Selanjutnya Pak Djoko mengatakan bahwa kami mendapat santunan Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dan harus kami terima utuh, tidak ada biaya apapun yang harus dikeluarkan, bahkan materai pun disediakan fihak asuransi. Ketika kami sampaikan ingin menyampaikan terima kasih, Pak Djoko langsung bilang, cukup diucapkan saja. Kami dilarang memberikan apapun kepada Pegawai Jasa Raharja, jika kami memberikan uang kepada mereka, berarti kami meracuni Pegawai Jasa Raharja. Subhanalloh… Itu adalah komitmen seorang Pimpinan dalam menyelamatkan anak buahnya terhindar dari perbuatan korupsi. Kami kagum kepada beliau, seorang Pemimpin yang berusaha menjaga moral dan etika anak buahnya..

Ternyata, ada lagi cerita pemberantasan korupsi yang lain, kali ini dari PLN. Beberapa waktu yang lalu, listrik di rumah penulis bermasalah, sehingga penulis telepon ke PLN nomor 123 (laporan gangguan). Setelah melapor kerusakan dan ditanyakan ID Pelanggannya, Petugas PLN memberi tahu melalui telepon bahwa perbaikan ini tidak dipungut biaya, dan penulis dimohon kerjasamanya untuk tidak memberikan apapun kepada petugas yang memperbaiki listrik. Petugas PLN datang kerumah jam 22.30 langsung mencari sumber kerusakan, dan kira-kira hanya 5 menit perbaikan kerusakan tersebut sudah selesai, nyala listrik normal kembali. Sebenarnya melihat mereka bekerja malam hari, tidak tega untuk tidak memberikan uang ala kadarnya. Tetapi ingat pesan telpon dari Petugas PLN, akhirnya dengan berat hati penulis tidak memberi apapun kepada petugas tersebut. Dan Petugas PLN memang tidak meminta imbalan apapun. Lagi-lagi ini merupakan upaya pemberantasan korupsi yang penulis saksikan.

Lalu bagaimana dengan BRI yang kita cintai? Good Corporate Governance (GCG) telah mencanangkan larangan meminta ataupun menerima pemberian dari nasabah ataupun vendor. Tinggal bagaimana pelaksanaannya.

Suatu hari, penulis dipanggil Bapak Wayan Alit Antara (waktu itu Direktur BRI) untuk mendampingi beliau menerima tamu mahasiswa Pertanian UGM. Ternyata Fakultas Pertanian mau mengadakan seminar dan BRI diminta sebagai salah satu nara sumber. Pak Wayan memerintahkan saya untuk mewakili sebagai narasumber tersebut. Alhamdulillah bisa jadi nara sumber di UGM Yogya, artinya bisa sekalian mengunjungi orang tua. Dalam pembahasan materi perbankan, salah satu pertanyaan dari peserta seminar adalah apakah benar untuk mendapatkan kredit BRI nasabah harus membayar “upeti” kepada petugas agar kreditnya cepat cair? Di BRI kira-kira berapa prosen besarnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut penulis bercerita tentang pengalaman mengurus asuransi santunan kematian di Jasa Raharja yang telah diceritakan di atas. Kebetulan beberapa panitya seminar adalah teman seangkatan dengan almarhum anakku yang mendapat santunan dari Jasa Raharja. Selanjutnya penulis sampaikan bahwa analog dengan Jasa Raharja, BRI menerapkan GCG juga, jadi tidak ada “upeti” untuk memperlancar cairnya kredit. Beberapa biaya memang ada, seperti biaya percetakan, provisi kredit dan materai. Dalam memberikan penjelasan tersebut, penulis sambil berharap semoga di lapangan benar-benar GCG diterapkan oleh petugas BRI.Penerapan GCG sewaktu penulis masih bertugas di Kanins BRI Yogyakarta, lain lagi. Bapak Inspektur melarang auditor meminta/menerima oleh-oleh dari unit kerja yang diaudit (auditee). Demikian juga pada saat mengaudit, auditor ditekankan untuk membeli makan dengan uang sakunya, tidak mengharapkan auditee memberikan makan siang maupun makan malam. Ada sanggahan dari auditor bahwa selama ini tidak minta kepada auditee tetapi ketika mau pulang di mobil sudah ada oleh-oleh, mau dikembalikan merasa tidak tega. Demikian juga dari fihak auditee, beranggapan bahwa auditor adalah tamu Cabang, sehingga makan siang merupakan jamuan kepada tamunya. Apakah alasan tersebut merupakan pembenaran atau karena sudah tradisi sehingga tidak mudah menghilangkannya, nampaknya perlu adanya reformasi. Untuk itu, pada saat entrance meeting, kepada KTA diinstruksikan menyampaikan kepada Pinca agar tidak memberikan oleh-oleh pada waktu tim pulang, dan jika tetap memberikan oleh-oleh akan dikembalikan. Demikian juga pada acara Forkom Kanwil, Bapak Inspektur menyampaikan kepada peserta, yakni para Pinca, Pincapem dan Kabag, agar tidak memberikan oleh-oleh ketika auditor menjalankan tugas di Kanca.

Sekelumit cerita upaya pemberantasan korupsi diatas, mudah-mudahan ada manfaatnya, sebagai wacana dalam menjalankan tugas maupun dalam memotivasi anak cucu agar bekerja lebih baik, tidak menjalankan praktek korupsi walau hanya kecil sekalipun.

No comments:

Post a Comment