Wednesday, April 20, 2011

Persahabatan

Oleh : Midian Simanjuntak

Pensiunan Bank BRI, tinggal di Jakarta


Andaikan kita adakan jajak pendapat dengan pertanyaan tunggal: “Mana hubungan antar dua individu yang lebih dekat atau lebih akrab: A. Persaudaraan atau B. Persahabatan?” Saya yakin mayoritas atau bahkan semuanya akan memilih A. Mengapa saya menduga begitu? Karena sudah sangat umum kita dengar orang mengatakan: “Si Polan itu adalah sahabat karib saya, sudah seperti saudara sendiri.”

Ada baiknya bila kita pertanyakan kebenaran pernyataan di atas tadi. Benarkah hubungan paling akrab antar dua individu adalah hubungan persaudaraan?

Mari kita coba memilah-milah atau mengelompokkan jenis hubungan antar dua individu, mulai dari yang paling renggang atau jauh hingga yang paling dekat atau akrab. Saya akan buat begini: a) tidak kenal b) benci, c) kenalan, d) teman, dan e) sahabat. Pengelompokan atau kategori ini tentunya jauh dari ilmiah sehingga mudah untuk dibantah, dikritik atau ditolak. Pemilahan ini sangat subjektif dan lebih banyak berdasarkan perasaan atau persepsi saya saja. Saya juga belum pernah menemukan literatur yang mengupas hal ini.

Ke kelompok mana harus saya tempatkan hubungan persaudaraan? Yang saya maksud dengan persaudaraan ialah adanya hubungan darah, kerabat atau kekeluargaan. Saya jadi bingung. Banyak saudara yang tidak saya kenal. Puluhan bahkan mungkin ratusan ribu orang bermarga Simanjuntak dan yang lahir dari perempuan Simanjuntak yang tidak saya kenal. Padahal kami punya hubungan darah atau genetik. Banyak saudara yang tidak saya sukai, bahkan saya benci. Tidak terbilang saudara yang cuma saya kenal tetapi tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya, persis seperti kertas putih yang kosong. Ada yang saya anggap cuma sebagai teman, sesekali saling kunjung dan kalau bertemu saling menawarkan rokok. Yang paling menyedihkan, saudara yang merupakan sobat atau sahabat bagi saya bilangannya tidak sampai menghabiskan jari tangan saya.

Dalam hidup saya hingga sekarang, baru dua kali saya mengucurkan air mata ketika mendengar berita meninggal. Yang pertama, ketika saya menjabat Pinwil di Semarang. Pukul lima pagi, 22 November 1992, telpon berdering dan diangkat oleh isteri saya. Mohammad Yudhi (waktu itu RBM Surabaya) telah meninggal dunia. Begitu saya dibangunkan dan diberitahukan, air mata saya langsung berderai, sampai bantal saya basah. Yang kedua, berita meninggalnya Mafin Hamid (pada saat itu Pinwil Palembang), 28 November 1998, juga membuat air mata saya tidak terbendung. Padahal ketika ayah, ibu, dan kakak perempuan kandung saya meninggal, tidak setetes pun air mata saya keluar.

Kejadian itu merupakan bukti bagi saya bahwa hubungan persahabatan adalah yang paling dekat dan paling tinggi di antara dua individu. Oleh karenanya, menjadi janggal bagi saya ucapan “Sahabat yang sudah seperti saudara”. Bagi saya, yang berlaku adalah, “Saudara yang juga merupakan sahabat”.

Ada adagium lama Batak Tapanuli yang bunyinya: “Sirang marale-ale, lobian na matean ina.” Terjemahan langsungnya, “Berpisah dengan sahabat, lebih berat dari kematian ibu.” Ketika adagium itu diciptakan memang situasinya sangat berbeda dengan situasi kita sekarang. Dahulu perpisahan akan segera diikuti oleh putusnya hubungan. Tidak ada surat menyurat, karena masih butahuruf atau belum adanya fasilitas pos. Sedang sekarang, perpisahan jasmaniah tetap dapat disambung oleh berbagai sarana komunikasi, seperti surat, telepon, sms atau internet. Oleh karenanya, perpisahan jasmaniah di zaman dahulu sama dengan perpisahan yang disebabkan karena kematian di zaman sekarang.

Mungkin karena tidak menyukai barang imitasi, saya agak alergi pada sesuatu yang “seperti”. Kalaupun ada yang membeli barang imitasi, misalnya, tidak lain karena harganya yang jauh lebih murah. Pernah saya lihat mobil Taruna diberi grill BMW atau Kijang ditempeli simbol Mercy yang besar. Sulit bagi saya memahami apa yang ingin dicapai oleh pemilik mobil itu. Apakah mereka merasa sedang mengendarai BMW atau Mercy, walahualam.

Disamping kedua sahabat saya diatas (Mohammad Yudhi dan Mafin Hamid) yang keduanya sudah almarhum, saya masih mempunyai pengalaman dengan 2 orang sahabat lainnya , namun dengan keduanya saya telah lama berpisah.

Yang pertama, Mustafa Ramahi teman akrab semasa kuliah di Amerika (1983-1985). Pada saat itu dia lebih mengetahui berbagai kesulitan saya dibanding isteri saya. Sebagai orang yang 10 tahun lebih tua, dia memang amat piawai untuk membangunkan semangat saya. Pengalaman yang tak terlupakan dengan dia pernah saya singgung dalam tulisan di WARTA BRI edisi bulan Pebruari 1991 dengan judul “Ocehan Manajemen” (bersambung). Ceriteranya, suatu ketika saya menghadapi masalah dengan Direktur Graduate School of Management yang bernama Prof. Kenneth D.Ramsing, menyangkut kelangsungan kuliah saya di Universitas Oregon. Dengan bantuan pemikiran dia dan putrinya yang mahasiswi , saya akhirnya bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Beberapa kali saya telah mencoba menelusuri keberadaan dia saat ini, dengan cara mengontak melalui internet, namun belum berhasil. Suratnya yang terakhir saya terima 9 tahun lalu dari Riyadh. Jangan-jangan dia sudah meninggal, karena kalau masih hidup dia sudah berumur 73 tahun dan saat itu menderita diabetes. Nama putrinya (Hanan) dan isterinya (Lutfia) pernah saya temukan dalam suatu publikasi (Muslimedia.com) memberikan ceramah dalam suatu seminar di Pretoria tahun 2001. Mereka berdua kembali ke Palestina dari Amerika dan mendirikan sekolah bagi anak-anak miskin. Sudah lama saya kirim e-mail ke media itu untuk mendapatkan alamat mereka, tapi sampai sekarang belum dijawab.

Yang kedua, sahabat satu lagi yang telah lama berpisah, yaitu Evan Hassiotis. Pada akhir tahun 80 an ybs bekerja sebagai anggota konsultan Booz Allen & Hamilton di BRI, dengan proyeknya dikenal dengan CP & P (Credit Policies & Procedures). Waktu itu para pembaca mengenalnya sebagai Mr. Evan. Di akhir bulan Desember tahun lalu saya sangat gembira karena menerima e-mail pendek dari Mr. Evan tersebut yang telah lebih dari 10 tahun tidak ada kontak sama sekali. E-mail tersebut dia tujukan ke alamat website juntak.com yang secara kebetulan dibaca oleh putrinya. Namanya memang ada disebut dalam website itu sebagai salah seorang bule yang doyan durian. Lalu e-mail tersebut diteruskan oleh anak saya ke alamat e-mail saya. Cepat-cepat saya balas e-mailnya. Tiga hari kemudian, saya terima balasannya.

Baru membaca beberapa baris, mata saya sudah berkaca-kaca, terutama karena kalimat berikut ini: “I am truly very happy and feel blessed to have heard from you, whom I consider and will ALWAYS consider to be one of the two best friends I have in this world; my other friend is in Greece and his name is Nicholas (that's why I named my son the same name).” “Saya sungguh sangat berbahagia dan merasa bersyukur menerima kabar dari engkau, kepada siapa saya menganggap dan akan SELALU menganggapmu sebagai salah satu dari dua teman terbaik yang pernah saya miliki di dunia ini, sedang teman saya yang satu lagi berada di Yunani namanya Nicholas (itu sebabnya saya memberi nama anak saya Nicholas)”. (Terjemahan bebas oleh Redaksi). Kalimat ini saya copy langsung dari e-mailnya. Inilah untuk kedua kalinya dia membuat saya hampir menitikkan air mata.

Yang pertama ialah di awal kerjasama kami. Dia sebagai salah seorang anggota konsultan Booz Allen & Hamilton, di mata kami (Mohammad Yudhi, Kemas M Arief dan saya) dia sebagai seorang pribadi yang amat arogan dan memperlakukan kami seolah-olah bawahannya. Sampai suatu saat saya kehilangan kesabaran dan melampiaskan kemarahan kepadanya. Setelah itu saya ke ruang komputer untuk menyelesaikan artikel yang baru setengah jalan. Saya tidak menyadari kehadirannya dan duduk di kursi di belakang saya. Baru sedikit kaget ketika dia menyapa dan mengatakan bahwa dia meminta maaf atas kejadian yang baru lalu dan sebelumnya. Dia menyadari sering lupa, bahwa dia bukan lagi GM Citibank. Sambil meletakkan kedua telapak tangannya pada bahu saya, dia berujar: “Midian, I realize now that I love you.” Air mata saya hampir menetes, huruf-huruf di layar komputer menjadi kabur. Betapa tidak, karena dia adalah pria kedua setelah ayah saya yang berkata begitu kepada saya. Selain mendapat sahabat baru, pelajaran paling berharga dari kejadian itu ialah, bahwa hubungan yang buruk dapat diubah menjadi sebuah hubungan yang amat baik, asal ada keinginan dan kemauan.

Terakhir kali saya bertemu dia ketika Mohammad Yudhi meninggal dunia tahun1992. Kata sambutan Pak Torang Sitorus yang amat emosional membuat kami berdua yang berdiri bersebelahan nangis sesenggukan dan tidak henti-hentinya menghapus air mata. Suatu ketika saya merasa amat gelo, getun atau sial, karena e-mailnya baru saja muncul di bulan Desember tahun yang lalu. Padahal beberapa bulan sebelumnya saya pergi ke Amerika. Seandainya e-mailnya datang lebih dini, saya pasti akan pergi menemuinya ke Athens, Georgia, karena tiga bulan sebelumnya saya ke Norfolk, Virginia, mengunjungi anak saya. Jarak antara kedua tempat itu tidaklah teramat jauh, paling lama 10 jam dengan naik mobil.

Konsepsi, persepsi, praktek dan perwujudan kekeluargaan itu sendiri amat bervariasi antar individu, keluarga, suku maupun bangsa. Orang Jawa misalnya, di waktu lebaran akan sungkem pada orang tuanya. Sementara orang Batak pada saat seperti itu akan sama-sama berdiri untuk bersalaman atau berpelukan. Sedang konsepsi persahabatan jauh lebih universal; tidak mengenal berbagai batas pengelompokan seperti suku, agama, bangsa, ras, warna kulit, jender, umur dan sebagainya. Seperti contoh yang telah saya kemukakan di atas tadi; Mohammad Yudhi adalah seorang Jawa muslim, Mafin Hamid adalah orang Palembang beragama Islam, dan Mustafa Ramahi adalah muslim pengungsi Palestina berpaspor Amerika. Sedang saya adalah Batak beragama Kristen. Sampai saat ini saya tidak tahu dan tidak ingin tahu apa agama yang dipeluk oleh Evan Hassiotis yang turunan Yunani.

Dalam mengekspresikan persahabatan saya kira juga tidak banyak bedanya di antara berbagai kelompok manusia di dunia ini. Yang pasti, kedua pihak merasa “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Sedang dalam persaudaraan amat bervariasi, misalnya hubungan antara adik dengan kakak saja, terutama dalam budaya kita, tidak sederajat.

Lagi pula memperbanyak sahabat jauh lebih mudah daripada memperbanyak saudara. Coba ada yang melamar putri kita. Hanya karena perbedaan agama saja sudah pusing tujuh keliling. Tetapi untuk menjadi sahabat, tidak perlu banyak persyaratan. Yang diperlukan hanya waktu dan sering terjadi interaksi untuk saling menjajagi nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh masing-masing pihak. Kita juga lebih bebas dalam memilih orang yang akan kita jadikan sahabat.

Sampai ke akhir hidup, kita dapat terus memperbanyak sahabat.

Profesi saat ini sebagai Petani durian “Juntak” dengan lokasi kebun di Dusun Mekarsari, Desa Tanjung Rasa, Kec.Ciniru, Kab. Bogor.

2 comments:

  1. Mengingatkan saya... dalam kenangan Bpk Mafin Hamid meninggal saat golf bersama inspektur BRI Sumbagsel. Berdua mereka kini di keabadian surgawi

    ReplyDelete
  2. Paman sy yg ga terlupakan sampai kapanpun...the best uncle in my life....Om iin(mafin hamid)

    ReplyDelete