Hj. Farida Sakwadi
Isteri pensiunan Bank BRI, tinggal di Yogyakarta
Jam beker baru menunjuk ke angka 2, ketika aku terbangun kemudian termangu dengan perasaan cemas, campur perasaan takut dan aneh. Tiba-tiba tangan kananku tak bisa digerakkan, lemas bagai tak bertulang. Kucoba untuk membangunkan suamiku, tapi tak sepatahpun kata yang bisa keluar dari mulutku. Ya Allah, aku benar-benar menjadi bisu, lumpuh !! Aku tak ingat istirja’, istigfar, padahal telah kehilangan sesuatu yang amat berharga !
Yang kuingat hari itu tanggal 28 Mei 2003, nanti pada jam 10 pagi aku telah berjanji untuk memenuhi undangan pengajian yang diselenggarakan oleh salah satu anggota Pamitran sebagai tanda syukur, pindah rumah baru. Memang aku bilang Insya Allah, tetapi aku berniat untuk datang. Tetapi ternyata Allah telah berkehendak lain. Aku menjadi lumpuh, aku menjadi bisu…….!
Kembali aku mencoba membangunkan suamiku, ku goyang-goyangkan tangannya. Dia membuka matanya , kemudian melihat beker. “Masih baru jam 02,00, tidur lagi aja” katanya sambil membalikkan badan membelakangiku. Kugoncangkan sekali lagi badan suamiku sambil uuuh…..uuuh….. aku berusaha bersuara, tapi tak jelas.
Barulah kemudian suamiku kaget. Ia langsung bangun, gentian menggoyangkan badanku, dengan perasaan panik !. “Kenapa Bu, kanapa, apanya yang sakit ?” Aku hanya bisa menunjukkan tangan kananku yang lunglai. Aku minta dituntun ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu aku dibantunya untuk duduk di ruang tamu.
Setelah itu suamiku membangunkan anak kami yang nomor 3 yang kebetulan tinggal serumah. Melihat keadaanku, anakku juga menjadi kaget. Kemudian dia segera membangunkan interinya pelan-pelan supaya tidak kaget. Maklum menantuku, isteri anakku saat itu sedang mengandung 20 minggu anak pertama. Meski dibangunkan pelan-pelan, menantuku kaget juga setelah melihat keadaanku. Ia menemani duduk, dan kurasakan ia berusaha memijat tanganku.
Masih dalam suasana kepanikan, suamiku menelpon anak kami yang nomor satu yang bekerja sebagai dokter di RS Muntilan, mungkin dalam hati
suamiku anakku akan bisa mengatasi keadaan. “O iya, Mik, ngaturi Bu Isti”, suamiku baru ingat kalau
punya tetangga seorang dokter. Meskipun agak ragu karena masih dini hari, anakku berangkat dan memberanikan diri mengetuk pintu rumah Bu Dokter Isti.
Kira-kira jam 04.00, anakku yang tinggal di Muntilan datang bersama isterinya yang juga dokter di BKIA Aisyiah. Satu-satunya anak laki-laki yang baru berumur 2 tahun dibawa serta. Saat menantuku sedang mengukur tekanan darahku, datanglah dokter Isti. “Nah itu sudah ada putranya” katanya sambil menyalamiku. “Berapa tensi Ibu?” sambungnya kepada menantuku. “220/110”, lamat-lamat kudengar menantuku menyahut. “Mondok saja ya Bu !” dokter Isti memberi saran. Aku mengangguk lemah, dan selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi…………..
Mimpi-mimpi ku dalam keadaan koma.
Dalam keadaan koma, aku betul-betul mimpi…………!! Aku merasa mengenal ruangan ini, ruang tempat suster dan perawat yang bertugas. Ini ruang Wijaya Kusuma RSUP DR SARDJITO. Mengapa aku ditempatkan disini, tidak di ruang pasien ? Aku mengenal ruang Wijaya Kusuma karena pernah bezoek salah seorang teman. Sekarang aku tidur di ruang ini, dengan selang infuse menggelantung di lengan kiriku. Tak ada seorang pun. Sepi, hawa pagi terasa segar kurasakan, sesegar rumput di halaman rumah sakit. Sesegar pagar tanaman yang mengelilingi ruangan tempatku dirawat.
Kulihat dr. Pernodjo datang bersama beberapa perawat. Dokter tersebut adalah tetangga ku lain kampung, tapi aku baru ketemu satu kali +/- 3 tahun yang lalu. Rambut dr, Pernodjo baru dipotong, dicukur cepak seperti potongan prajurit ABRI. Hanya jenggotnya yang dibiarkan memanjang. Aku mengikuti dr. Pernodjo……..kok sampai di pematang di kiri kanan sawah yang membentang luas dengan padi yang sedang menguning. Kelihatan indah, tetapi sepi. Dr, Pernodjo nggak tahu kemana, tiba-tiba aku sudah di pembaringan semula. Kulihat kakakku yang tinggal di Bandung, datang bersama suaminya. Di umurnya yang telah lebih dari 70 tahun, kakakku masih kelihatan cantik. Rambutnya dipotong sebahu, giginya nampak rapi. Sambil menangis kuciumi tangan keduanya, karena sudah lama kami tak ketemu. Tapi mereka pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Mereka berlalu seperti ketika mereka datang, tanpa berkata-kata. Mimpiku berlanjut………….., aku merasa duduk di atas sebuah batu besar di sebuah taman yang luas, sedang disungkêmi dan dipeluk oleh keponakanku yang datang bersama ayahnya (adikku) yang tinggal di Purwokerto. Lagi-lagi mereka menghilang dari pandanganku sebelum kusapa.
Aku dibaringkan ke sebuah kendaraan truk besar lalu dibawa pulang. Selanjutnya aku merasa tinggal di rumah, dalam perawatan anak perempuanku yang tinggal di Denpasar. O, rupanya anakku itu sudah menungguiku bersama anak-anakku yang lain. Di rumah, walaupun aku merasa bukan rumah yang dulu, aku merasa lebih hangat, lebih ramai. Berturut-turut datang rombongan teman-temanku dari Semarang, meski yang terlihat hanya Bu Beryanto, kemudian besanku dari Delanggu. Juga kakak sepupuku dari Semarang bersama putranya, rombongan teman-teman suamiku dari Semarang, Remaja Masjid. Semua do’a dan sentuhan tangan mereka sungguh sangat kurasakan, sehingga aku merasa sadar dari tidurku yang panjang. Ternyata belum. Aku masih merepotkan seisi rumah dengan mencabut infuse dan selang sonde. Baru merasa sadar betul, waktu sore hari ketika aku dimandikan anak dan menantuku. Malahan aku minta didudukkan dengan diganjal bantal, karena serombongan Ibu-ibu tetangga menengokku. Mereka menyalamiku satu persatu, ada yang menyebutkan nama, maklum aku baru bangun dari tidur panjang +/- selama 1 bulan, barangkali aku tidak mengenali tetanggaku.
Alhamdulillah aku masih ingat semua yang datang menengokku. Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk hidup, untuk mengisi waktu yang barangkali selama ini banyak ku sia-siakan, terbuang percuma.
Hari-hari selanjutnya aku disibukkan oleh pengobatan, latihan berbicara, dibantu oleh suamiku. Anakku, bahkan cucu-cucuku pun ikut membantu sambil tertawa. Kata mereka: “ Yang Ti kok kayak anak TK” , itu karena mereka geli melihatku sedang latihan membaca: ini – nana – bobo dan sebagainya. Selain itu latihan phisik, senam dan jalan dipandu oleh Ibu Siti Chotimah dari RS PKU. Mula-mula latihan bangkit sendiri dari tempat tidur, disambung dengan senam. Minggu berikutnya latihan berjalan menggunakan tripot (tongkat berkaki tiga). Karena latihan dengan Bu Siti hanya seminggu sekali, maka latihan setiap harinya dipandu oleh suamiku.
Seperti pagi itu, aku mencoba latihan berjalan-jalan di teras rumah. Tentu saja bersama suamiku. Keseimbangan tubuhku masih belum pulih, tetapi semangatku begitu besar. Mungkin karena cara memegang tongkat yang keliru, aku jatuh terjéngkang, kepalaku menimpa kursi panjang yang sudah tidak ada busanya. Semua yang menyaksikan terkesima, lalu mengerumuniku yang terduduk lemas, kemudian suamiku menuntunku ke kamar. Sorenya kami consult ke dokter Pernodjo, tapi menurut beliau tidak apa-apa.
Alhamdulillah, keadaanku semakin baik. Dengan latihan yang tekun, modal kesabaran dari seluruh keluarga, aku sudah bisa berjalan sendiri pelan-pelan tanpa tongkat. Keseimbanganku sudah membaik. Setiap pagi aku latihan jalan dengan ditemani suamiku sampai Gapura desa sejauh kurang lebih 200 meter. Aku mulai lagi pengajian di kampung maupun arisan kelompok pensiunan BRI. Aku salut dan terima kasih sekali kepada suamiku yang mau membawaku kemana-mana.
Menurut pendapatku, yang juga dibenarkan oleh Dokter dan seluruh keluarga, sillaturahhim itu merupakan obat juga terutama obat bathin. Sholatpun tidak lagi di kursi, tapi di lantai seperti biasa. Sayangnya Bu Siti tidak pernah datang lagi. Memang sesuai dengan janjinya sejak awal, apabila aku sudah bisa sholat di lantai maka Bu Siti akan menghentikan teraphynya. Padahal pada tahun pertama aku masih membutuhkan kedatangan Bu Siti. Di hubungi via telepon, SMS bolak balik, berulang-ulang tidak pernah ada jawaban.
Selanjutnya untuk memantapkan hati, suami membawaku ke pengobatan lain, yaitu pijat refleksi, yang sakitnya………..bukan main !. Aku menjadi bosan juga menjalani teraphy pasif begitu. Aku lebih senang pengobatan medis, yang aku bisa aktif . Akhirnya aku minta berhenti dari semua pengobatan alternative. Aku lebih senang pengobatan medis, dimana aku bisa terlibat langsung. Aku senam sendiri di kamar, kemudian latihan jalan juga sendiri. Kasihan suamiku kalau harus menjagaku terus menerus.
Tidak terasa, 4 tahun sudah. Pagi itu, tanggal 2 Februari tahun 2007. sebagaimana biasa aku berjalan-jalan sendiri. Belum sampai Gapura, aku terjatuh dengan posisi setengah duduk ke arah kanan. Sadar bahwa aku berjalan di jalan umum, aku berusaha bangkit, takut ada mobil lewat. Berkali-kali aku berusaha, namun tak berhasil, lututku sakit sekali. Tahu-tahu aku sudah digendongan anak muda yang membawaku ke rumah. Pemuda itu cepat menghilang dengan sepeda motornya. Dengan ambulance aku dibawa ke RS Bethesda Yogyakarta. Sepanjang jalan menuju RS, kaki kananku mengalami kram. Sehingga aku yang kalau sakit biasanya diam, kali ini merintih dan mengerang kalau kram datang. Tiba di RS aku segera difoto pada bagian lutut. Hasilnya, lutut kakiku “slingsé” alias berpindah dari tempatnya. Dokter melakukan tindakan reposisi. Selama 2 minggu aku di gips dan diberi tablet anti nyeri. Selanjutnya aku terpaksa menggunakan kursi roda.
Dengan berjalannya waktu, bergantinya hari, bulan dan tahun aku memang sudah bisa berjalan, tapi kursi roda masih sering aku gunakan, karena jalanku masih pelan sekali.
Sampai disini ceritaku, saya sudah capai menulis. . Hanya kepada Allah SWT saya berserah diri. Dan kepada siapa saja yang kersa membaca kisahku, saya mohon do’a agar sroke itu tidak menghampiriku lagi !. Amin