Wednesday, April 20, 2011

Bisakah kita mempertahankan api cinta sampai tua?



Oleh: Enny Dyah Ratnawati

Pensiunan Bank BRI tnggal di Jakarta





Belakangan ini seiring dengan semakin banyaknya undangan, saya dan suami lebih memilih datang pas acara akad nikah. Acara akad nikah biasanya ada ceramah atau pesan kepada pengantin, yang juga bermanfaat untuk para hadirin. Mengamati dan mendengarkan berbagai macam ceramah yang pernah saya dengar sebelumnya, ceramah yang disampaikan oleh bapak Haidir Bagir pada akad nikah yang saya hadiri pada tanggal 1 Mei 2010 di Gedung Kautaman TMII Jakarta, membuat saya merenung. Beliau mengatakan, bahwa pernikahan untuk saat ini adalah lebih sulit dibanding beberapa tahun lampau, dengan semakin banyaknya godaan. Oleh karena itu diperlukan kekuatan cinta dari sepasang suami isteri, untuk tetap menjaga, supaya bara api cinta tidak pernah padam barang sedetikpun.

Bapak Haidir Bagir, merupakan alumnus Teknologi Industri ITB 1982, mengenyam pendidikan pasca sarjana di Pusat Studi Timur Tengah Harvard University, AS 1990-1992, dan S-3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000 – 2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS. Beliau lebih dikenal sebagai Direktur Utama penerbit buku-buku Islam terkemuka di Indonesia, PT Mizan Publika.

Beliau menjelaskan bahwa sampai saat inipun, beliau masih tetap belajar, bagaimana menjaga api cinta itu tetap menyala di hati beliau dan isteri. Pada saat menikah, kedua pasangan membawa family matters masing-masing, yang sangat berbeda, baik dari cara hidup, sensitivitasnya, maupun cara mengungkapkan perasaan. Pada saat ada pernikahan, umumnya orang akan mendoakan semoga pernikahannya menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan wa rahmah.

Arti mawadah: cinta, harapan

Mawadah ini biasanya berkobar-kobar saat kita masih muda. Dan rasa cinta ini diharapkan bisa berlanjut sampai tua, saat bentuk badan sudah berbeda, sudah banyak kerutannya, dan fisik sudah tidak menarik.

Arti wa-rahmah adalah kasih sayang

Perasaan cinta kasih yang tak ada hubungannya dengan fisik. Diharapkan suami isteri tetap menjaga penampilan sampai tua, agar pasangannya dapat menemukan rasa cinta yang terus menyala, namun jika mawadah hilang, diharapkan masih ada wa rahmah atau rasa kasih sayang. Dengan mawadah dan warahmah, diharapkan akan mewujudkan keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang tenang dan tenteram.

Keluarga yang tenang dan tenteram akan dapat menaungi anak-anak yang dilahirkan, membuat anak-anak bahagia, merasa aman dan nyaman. Karena pada dasarnya, rumah yang indah adalah rumah yang semua anggota keluarga (ayah, ibu dan anak-anak) merasa aman dan nyaman.

Bapak Haidir Bagir memberikan contoh, bahwa Rasulullah pernah berkata “Laki-laki yang baik, adalah laki-laki yang baik pada isterinya, serta laki-laki yang siap membantu isterinya.” Beliau juga menceritakan, bahwa majalah Time pernah membuat laporan utama dengan judul “Revolusi Viagra”. Biasanya, dua minggu kemudian, majalah tersebut akan mengumpulkan surat pembaca yang memberikan komentar tentang laporan utama. Ada komentar yang menarik, dari seorang isteri yang mengatakan: “Viagra saya adalah saat saya melihat suami saya membantu saya kerja di dapur. Dengan demikian saya tak membutuhkan Viagra.” Kita harus selalu memperbaiki diri, bahkan sampai tua, namun at the same point, kita harus menerima pasangan hidup kita apa adanya. Dengan demikian, api cinta dapat dipertahankan untuk terus menyala.

Ceramah pak Haidir Bagir singkat dan padat, namun banyak sekali point yang diperoleh dan menjadi inspirasi kita. Saya ingat pendapat Mario Teguh dalam suatu acara di TV, bahwa hubungan suami isteri yang bertahan lama adalah hubungan yang bersahabat. Bukankah jika kita bersahabat, kita rela membantu sahabat kita, membahagiakan sahabat kita, bahkan kalau perlu mengorbankan nyawa kita.

Catatan:

Saya pernah mendapat email dari sahabat muda yang saat itu baru menikah, kedua suami isteri melanjutkan S3 di luar negeri, berbeda negara dan lintas benua. Sahabat muda tadi mengirim email, agar saya mau menulis di blog, cara mempertahankan api cinta suami isteri sampai akhir hayat. Saat itu saya tak berani menyanggupi, karena saya pun masih belajar, walau perkawinan saya telah berlangsung 29 tahun lebih. Namun, mendengarkan ceramah pak Haidir Bagir, dimana beliau juga telah menikah lebih dari 28 tahun, namun masih merasa harus belajar, saya memberanikan diri menulis artikel ini, yang saya ambil dari ceramah pak Haidir.

Semoga bermanfaat bagi kita semua, walau saya tak sempat mencatat semua ceramah bapak Haidir Bagir (maklum hadir di undangan, kan hanya bawa tas kecil).

Sumber Bacaan:

Ceramah pernikahan oleh bapak Haidir Bagir

Pemberantasan Korupsi

Oleh: Hj. Siti Adimurwani Darwinto

Pensiunan Bank BRI tinggal di Yogyakarta


Di Warta Pamitran Edisi bulan Juni 2010, Ibu Hj Rulianti mengajak kita semua untuk introspeksi diri apakah kita pernah melakukan korupsi, termasuk korupsi yang sifatnya ringan seperti membolos tidak masuk kantor. Selanjutnya, kita diajak pula untuk merenung, namun tidak langsung melakukan pembenaran dan secara jujur mencari solusi dengan tawaran melakukan 4 langkah sebagaimana disampaikan pada akhir tulisan beliau. Ajakan bu Ruli tersebut, menurut hemat penulis merupakan langkah individu yang sangat baik untuk diri kita masing-masing.

Disamping langkah individu, ada juga langkah kolektif, sebagaimana pengalaman penulis berhubungan dengan perusahaan yang berupaya memberantas korupsi melalui langkah nyata meskipun hanya langkah-langkah kecil. Sharing pengalaman ini mudah-mudahan bisa menjadi penyejuk hati bahwa sebenarnya banyak fihak yang ingin juga memberantas korupsi di negeri ini. Setidak-tidaknya merupakan cerita dari sisi lain, tidak hanya berita korupsi yang meraja lela saja, tetapi kita punya teman yang berusaha memberantas korupsi di mulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan.

Cerita ini merupakan pengalaman kira-kira 6 tahun yang lalu, saat penulis mendapat musibah, yaitu anak tercinta mengalami kecelakaan lalu lintas di Yogya yang berakibat meninggal dunia. Duka cita yang dalam menyelimuti hati kami sekeluarga, namun sungguh Alloh Maha Pengasih dan Maha Penyayang, menggerakkan hati Saudara-Saudara kami dengan memberikan dukungan moril maupun materiil dan bantuan banyak hal lainnya. Terima kasih kepada Saudara-Saudaraku semua, semoga kebaikannya dicatat Alloh sebagai amal yang mendatangkan pahala. Amiiiin.

Diantara sekian banyak bantuan yang kami dapatkan adalah pengurusan santunan asuransi Jasa Raharja, yang diselesaikan Suadara-Saudara kami keluarga Kanwil BRI Yogya. Beberapa waktu kemudian kami menerima panggilan dari Jasa Raharja di Jakarta (sesuai alamat KTP almarhum) untuk mendapatkan santunan sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupaiah). Saat itu kami datang ke kantor Jasa Raharja di Jakarta Pusat, menghadap Kepala Kantor yang namanya Pak Djoko. Beliau bertanya, apakah dalam mengurus santunan tersebut sudah keluar biaya? Berapa besarnya? Jujur kami katakan bahwa saya tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun karena diurus oleh teman-teman BRI Yogya, dan kami sudah menanyakan kepada teman-teman BRI Yogya, katanya tidak membayar apapun. Selanjutnya Pak Djoko mengatakan bahwa kami mendapat santunan Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dan harus kami terima utuh, tidak ada biaya apapun yang harus dikeluarkan, bahkan materai pun disediakan fihak asuransi. Ketika kami sampaikan ingin menyampaikan terima kasih, Pak Djoko langsung bilang, cukup diucapkan saja. Kami dilarang memberikan apapun kepada Pegawai Jasa Raharja, jika kami memberikan uang kepada mereka, berarti kami meracuni Pegawai Jasa Raharja. Subhanalloh… Itu adalah komitmen seorang Pimpinan dalam menyelamatkan anak buahnya terhindar dari perbuatan korupsi. Kami kagum kepada beliau, seorang Pemimpin yang berusaha menjaga moral dan etika anak buahnya..

Ternyata, ada lagi cerita pemberantasan korupsi yang lain, kali ini dari PLN. Beberapa waktu yang lalu, listrik di rumah penulis bermasalah, sehingga penulis telepon ke PLN nomor 123 (laporan gangguan). Setelah melapor kerusakan dan ditanyakan ID Pelanggannya, Petugas PLN memberi tahu melalui telepon bahwa perbaikan ini tidak dipungut biaya, dan penulis dimohon kerjasamanya untuk tidak memberikan apapun kepada petugas yang memperbaiki listrik. Petugas PLN datang kerumah jam 22.30 langsung mencari sumber kerusakan, dan kira-kira hanya 5 menit perbaikan kerusakan tersebut sudah selesai, nyala listrik normal kembali. Sebenarnya melihat mereka bekerja malam hari, tidak tega untuk tidak memberikan uang ala kadarnya. Tetapi ingat pesan telpon dari Petugas PLN, akhirnya dengan berat hati penulis tidak memberi apapun kepada petugas tersebut. Dan Petugas PLN memang tidak meminta imbalan apapun. Lagi-lagi ini merupakan upaya pemberantasan korupsi yang penulis saksikan.

Lalu bagaimana dengan BRI yang kita cintai? Good Corporate Governance (GCG) telah mencanangkan larangan meminta ataupun menerima pemberian dari nasabah ataupun vendor. Tinggal bagaimana pelaksanaannya.

Suatu hari, penulis dipanggil Bapak Wayan Alit Antara (waktu itu Direktur BRI) untuk mendampingi beliau menerima tamu mahasiswa Pertanian UGM. Ternyata Fakultas Pertanian mau mengadakan seminar dan BRI diminta sebagai salah satu nara sumber. Pak Wayan memerintahkan saya untuk mewakili sebagai narasumber tersebut. Alhamdulillah bisa jadi nara sumber di UGM Yogya, artinya bisa sekalian mengunjungi orang tua. Dalam pembahasan materi perbankan, salah satu pertanyaan dari peserta seminar adalah apakah benar untuk mendapatkan kredit BRI nasabah harus membayar “upeti” kepada petugas agar kreditnya cepat cair? Di BRI kira-kira berapa prosen besarnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut penulis bercerita tentang pengalaman mengurus asuransi santunan kematian di Jasa Raharja yang telah diceritakan di atas. Kebetulan beberapa panitya seminar adalah teman seangkatan dengan almarhum anakku yang mendapat santunan dari Jasa Raharja. Selanjutnya penulis sampaikan bahwa analog dengan Jasa Raharja, BRI menerapkan GCG juga, jadi tidak ada “upeti” untuk memperlancar cairnya kredit. Beberapa biaya memang ada, seperti biaya percetakan, provisi kredit dan materai. Dalam memberikan penjelasan tersebut, penulis sambil berharap semoga di lapangan benar-benar GCG diterapkan oleh petugas BRI.Penerapan GCG sewaktu penulis masih bertugas di Kanins BRI Yogyakarta, lain lagi. Bapak Inspektur melarang auditor meminta/menerima oleh-oleh dari unit kerja yang diaudit (auditee). Demikian juga pada saat mengaudit, auditor ditekankan untuk membeli makan dengan uang sakunya, tidak mengharapkan auditee memberikan makan siang maupun makan malam. Ada sanggahan dari auditor bahwa selama ini tidak minta kepada auditee tetapi ketika mau pulang di mobil sudah ada oleh-oleh, mau dikembalikan merasa tidak tega. Demikian juga dari fihak auditee, beranggapan bahwa auditor adalah tamu Cabang, sehingga makan siang merupakan jamuan kepada tamunya. Apakah alasan tersebut merupakan pembenaran atau karena sudah tradisi sehingga tidak mudah menghilangkannya, nampaknya perlu adanya reformasi. Untuk itu, pada saat entrance meeting, kepada KTA diinstruksikan menyampaikan kepada Pinca agar tidak memberikan oleh-oleh pada waktu tim pulang, dan jika tetap memberikan oleh-oleh akan dikembalikan. Demikian juga pada acara Forkom Kanwil, Bapak Inspektur menyampaikan kepada peserta, yakni para Pinca, Pincapem dan Kabag, agar tidak memberikan oleh-oleh ketika auditor menjalankan tugas di Kanca.

Sekelumit cerita upaya pemberantasan korupsi diatas, mudah-mudahan ada manfaatnya, sebagai wacana dalam menjalankan tugas maupun dalam memotivasi anak cucu agar bekerja lebih baik, tidak menjalankan praktek korupsi walau hanya kecil sekalipun.

Semoga, stroke itu tidak menghampiriku lagi !

Hj. Farida Sakwadi
Isteri pensiunan Bank BRI, tinggal di Yogyakarta

Jam beker baru menunjuk ke angka 2, ketika aku terbangun kemudian termangu dengan perasaan cemas, campur perasaan takut dan aneh. Tiba-tiba tangan kananku tak bisa digerakkan, lemas bagai tak bertulang. Kucoba untuk membangunkan suamiku, tapi tak sepatahpun kata yang bisa keluar dari mulutku. Ya Allah, aku benar-benar menjadi bisu, lumpuh !! Aku tak ingat istirja’, istigfar, padahal telah kehilangan sesuatu yang amat berharga !

Yang kuingat hari itu tanggal 28 Mei 2003, nanti pada jam 10 pagi aku telah berjanji untuk memenuhi undangan pengajian yang diselenggarakan oleh salah satu anggota Pamitran sebagai tanda syukur, pindah rumah baru. Memang aku bilang Insya Allah, tetapi aku berniat untuk datang. Tetapi ternyata Allah telah berkehendak lain. Aku menjadi lumpuh, aku menjadi bisu…….!

Kembali aku mencoba membangunkan suamiku, ku goyang-goyangkan tangannya. Dia membuka matanya , kemudian melihat beker. “Masih baru jam 02,00, tidur lagi aja” katanya sambil membalikkan badan membelakangiku. Kugoncangkan sekali lagi badan suamiku sambil uuuh…..uuuh….. aku berusaha bersuara, tapi tak jelas.

Barulah kemudian suamiku kaget. Ia langsung bangun, gentian menggoyangkan badanku, dengan perasaan panik !. “Kenapa Bu, kanapa, apanya yang sakit ?” Aku hanya bisa menunjukkan tangan kananku yang lunglai. Aku minta dituntun ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu aku dibantunya untuk duduk di ruang tamu.

Setelah itu suamiku membangunkan anak kami yang nomor 3 yang kebetulan tinggal serumah. Melihat keadaanku, anakku juga menjadi kaget. Kemudian dia segera membangunkan interinya pelan-pelan supaya tidak kaget. Maklum menantuku, isteri anakku saat itu sedang mengandung 20 minggu anak pertama. Meski dibangunkan pelan-pelan, menantuku kaget juga setelah melihat keadaanku. Ia menemani duduk, dan kurasakan ia berusaha memijat tanganku.

Masih dalam suasana kepanikan, suamiku menelpon anak kami yang nomor satu yang bekerja sebagai dokter di RS Muntilan, mungkin dalam hati

suamiku anakku akan bisa mengatasi keadaan. “O iya, Mik, ngaturi Bu Isti”, suamiku baru ingat kalau

punya tetangga seorang dokter. Meskipun agak ragu karena masih dini hari, anakku berangkat dan memberanikan diri mengetuk pintu rumah Bu Dokter Isti.

Kira-kira jam 04.00, anakku yang tinggal di Muntilan datang bersama isterinya yang juga dokter di BKIA Aisyiah. Satu-satunya anak laki-laki yang baru berumur 2 tahun dibawa serta. Saat menantuku sedang mengukur tekanan darahku, datanglah dokter Isti. “Nah itu sudah ada putranya” katanya sambil menyalamiku. “Berapa tensi Ibu?” sambungnya kepada menantuku. “220/110”, lamat-lamat kudengar menantuku menyahut. “Mondok saja ya Bu !” dokter Isti memberi saran. Aku mengangguk lemah, dan selanjutnya aku tak ingat apa-apa lagi…………..

Mimpi-mimpi ku dalam keadaan koma.

Dalam keadaan koma, aku betul-betul mimpi…………!! Aku merasa mengenal ruangan ini, ruang tempat suster dan perawat yang bertugas. Ini ruang Wijaya Kusuma RSUP DR SARDJITO. Mengapa aku ditempatkan disini, tidak di ruang pasien ? Aku mengenal ruang Wijaya Kusuma karena pernah bezoek salah seorang teman. Sekarang aku tidur di ruang ini, dengan selang infuse menggelantung di lengan kiriku. Tak ada seorang pun. Sepi, hawa pagi terasa segar kurasakan, sesegar rumput di halaman rumah sakit. Sesegar pagar tanaman yang mengelilingi ruangan tempatku dirawat.

Kulihat dr. Pernodjo datang bersama beberapa perawat. Dokter tersebut adalah tetangga ku lain kampung, tapi aku baru ketemu satu kali +/- 3 tahun yang lalu. Rambut dr, Pernodjo baru dipotong, dicukur cepak seperti potongan prajurit ABRI. Hanya jenggotnya yang dibiarkan memanjang. Aku mengikuti dr. Pernodjo……..kok sampai di pematang di kiri kanan sawah yang membentang luas dengan padi yang sedang menguning. Kelihatan indah, tetapi sepi. Dr, Pernodjo nggak tahu kemana, tiba-tiba aku sudah di pembaringan semula. Kulihat kakakku yang tinggal di Bandung, datang bersama suaminya. Di umurnya yang telah lebih dari 70 tahun, kakakku masih kelihatan cantik. Rambutnya dipotong sebahu, giginya nampak rapi. Sambil menangis kuciumi tangan keduanya, karena sudah lama kami tak ketemu. Tapi mereka pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Mereka berlalu seperti ketika mereka datang, tanpa berkata-kata. Mimpiku berlanjut………….., aku merasa duduk di atas sebuah batu besar di sebuah taman yang luas, sedang disungkêmi dan dipeluk oleh keponakanku yang datang bersama ayahnya (adikku) yang tinggal di Purwokerto. Lagi-lagi mereka menghilang dari pandanganku sebelum kusapa.

Aku dibaringkan ke sebuah kendaraan truk besar lalu dibawa pulang. Selanjutnya aku merasa tinggal di rumah, dalam perawatan anak perempuanku yang tinggal di Denpasar. O, rupanya anakku itu sudah menungguiku bersama anak-anakku yang lain. Di rumah, walaupun aku merasa bukan rumah yang dulu, aku merasa lebih hangat, lebih ramai. Berturut-turut datang rombongan teman-temanku dari Semarang, meski yang terlihat hanya Bu Beryanto, kemudian besanku dari Delanggu. Juga kakak sepupuku dari Semarang bersama putranya, rombongan teman-teman suamiku dari Semarang, Remaja Masjid. Semua do’a dan sentuhan tangan mereka sungguh sangat kurasakan, sehingga aku merasa sadar dari tidurku yang panjang. Ternyata belum. Aku masih merepotkan seisi rumah dengan mencabut infuse dan selang sonde. Baru merasa sadar betul, waktu sore hari ketika aku dimandikan anak dan menantuku. Malahan aku minta didudukkan dengan diganjal bantal, karena serombongan Ibu-ibu tetangga menengokku. Mereka menyalamiku satu persatu, ada yang menyebutkan nama, maklum aku baru bangun dari tidur panjang +/- selama 1 bulan, barangkali aku tidak mengenali tetanggaku.

Alhamdulillah aku masih ingat semua yang datang menengokku. Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk hidup, untuk mengisi waktu yang barangkali selama ini banyak ku sia-siakan, terbuang percuma.

Hari-hari selanjutnya aku disibukkan oleh pengobatan, latihan berbicara, dibantu oleh suamiku. Anakku, bahkan cucu-cucuku pun ikut membantu sambil tertawa. Kata mereka: “ Yang Ti kok kayak anak TK” , itu karena mereka geli melihatku sedang latihan membaca: ini – nana – bobo dan sebagainya. Selain itu latihan phisik, senam dan jalan dipandu oleh Ibu Siti Chotimah dari RS PKU. Mula-mula latihan bangkit sendiri dari tempat tidur, disambung dengan senam. Minggu berikutnya latihan berjalan menggunakan tripot (tongkat berkaki tiga). Karena latihan dengan Bu Siti hanya seminggu sekali, maka latihan setiap harinya dipandu oleh suamiku.

Seperti pagi itu, aku mencoba latihan berjalan-jalan di teras rumah. Tentu saja bersama suamiku. Keseimbangan tubuhku masih belum pulih, tetapi semangatku begitu besar. Mungkin karena cara memegang tongkat yang keliru, aku jatuh terjéngkang, kepalaku menimpa kursi panjang yang sudah tidak ada busanya. Semua yang menyaksikan terkesima, lalu mengerumuniku yang terduduk lemas, kemudian suamiku menuntunku ke kamar. Sorenya kami consult ke dokter Pernodjo, tapi menurut beliau tidak apa-apa.

Alhamdulillah, keadaanku semakin baik. Dengan latihan yang tekun, modal kesabaran dari seluruh keluarga, aku sudah bisa berjalan sendiri pelan-pelan tanpa tongkat. Keseimbanganku sudah membaik. Setiap pagi aku latihan jalan dengan ditemani suamiku sampai Gapura desa sejauh kurang lebih 200 meter. Aku mulai lagi pengajian di kampung maupun arisan kelompok pensiunan BRI. Aku salut dan terima kasih sekali kepada suamiku yang mau membawaku kemana-mana.

Menurut pendapatku, yang juga dibenarkan oleh Dokter dan seluruh keluarga, sillaturahhim itu merupakan obat juga terutama obat bathin. Sholatpun tidak lagi di kursi, tapi di lantai seperti biasa. Sayangnya Bu Siti tidak pernah datang lagi. Memang sesuai dengan janjinya sejak awal, apabila aku sudah bisa sholat di lantai maka Bu Siti akan menghentikan teraphynya. Padahal pada tahun pertama aku masih membutuhkan kedatangan Bu Siti. Di hubungi via telepon, SMS bolak balik, berulang-ulang tidak pernah ada jawaban.

Selanjutnya untuk memantapkan hati, suami membawaku ke pengobatan lain, yaitu pijat refleksi, yang sakitnya………..bukan main !. Aku menjadi bosan juga menjalani teraphy pasif begitu. Aku lebih senang pengobatan medis, yang aku bisa aktif . Akhirnya aku minta berhenti dari semua pengobatan alternative. Aku lebih senang pengobatan medis, dimana aku bisa terlibat langsung. Aku senam sendiri di kamar, kemudian latihan jalan juga sendiri. Kasihan suamiku kalau harus menjagaku terus menerus.

Tidak terasa, 4 tahun sudah. Pagi itu, tanggal 2 Februari tahun 2007. sebagaimana biasa aku berjalan-jalan sendiri. Belum sampai Gapura, aku terjatuh dengan posisi setengah duduk ke arah kanan. Sadar bahwa aku berjalan di jalan umum, aku berusaha bangkit, takut ada mobil lewat. Berkali-kali aku berusaha, namun tak berhasil, lututku sakit sekali. Tahu-tahu aku sudah digendongan anak muda yang membawaku ke rumah. Pemuda itu cepat menghilang dengan sepeda motornya. Dengan ambulance aku dibawa ke RS Bethesda Yogyakarta. Sepanjang jalan menuju RS, kaki kananku mengalami kram. Sehingga aku yang kalau sakit biasanya diam, kali ini merintih dan mengerang kalau kram datang. Tiba di RS aku segera difoto pada bagian lutut. Hasilnya, lutut kakiku “slingsé” alias berpindah dari tempatnya. Dokter melakukan tindakan reposisi. Selama 2 minggu aku di gips dan diberi tablet anti nyeri. Selanjutnya aku terpaksa menggunakan kursi roda.

Dengan berjalannya waktu, bergantinya hari, bulan dan tahun aku memang sudah bisa berjalan, tapi kursi roda masih sering aku gunakan, karena jalanku masih pelan sekali.

Sampai disini ceritaku, saya sudah capai menulis. . Hanya kepada Allah SWT saya berserah diri. Dan kepada siapa saja yang kersa membaca kisahku, saya mohon do’a agar sroke itu tidak menghampiriku lagi !. Amin

Ternak teri



Oleh: M. Effendi Ardjosupeno

Pensiunan Bank BRI tinggal di Semarang

Beberapa waktu setelah aku memasuki masa pensiun, kalau ketemu dengan rekan atau sahabat lama yang dulu sama-sama di BRI, mereka sering tanya apa kesibukanku sehari-hari saat ini. Dengan spontan aku jawab “ternak teri !”. Biasanya mereka kaget mendengar jawaban tersebut, karena mungkin tidak pernah mendengar ada usaha (budi daya) peternakan (ikan) teri. Setelah aku jelaskan bahwa kata-kata tersebut adalah kepanjangan dari “nganter anak dan nganter isteri”, mereka jadi faham.

Bahwa profesiku sekarang adalah memenuhi kewajiban sebagai suami kepada isteri (anaknya mertua) dan anak (kandung) Dimana pada masa lalu, ketika masih aktif di BRI, tugas itu banyak diambil alih oleh pengemudi (yang digaji) oleh BRI, karena kebetulan ada fasilitas sebagai pejabat di Kanca, Kanwil atau Kanins BRI.

Pada waktu aku memasuki masa Pensiun dengan mengikuti Program Pengunduran Sukarela (PDS) sejak 01 Agustus 1999, kondisi keluargaku adalah sebagai berikut:

- Anak pertama (perempuan), alhamdulillah baru saja menyelesaikan pendidikan S.1,nya dan diwisuda pada tanggal 05 Agustus 1999. Setelah gagal mengikuti tes masuk calon Pegawai BRI Unit Desa di Kanca BRI Semarang Patimura, dia melanjutkan S.2. jurusan Kenotariatan. Untuk transportasi kuliah, dia membawa sendiri mobil Toyota Kijang tahun 1992, sekaligus mengantar adiknya ke Kampus yang sama (ini berjalan sejak masih di SMA).

- Anak nomor 2 (laki-laki), karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum, setelah sebelumnya pernah menderita sakit kronis ketika masih kecil (di Kalimantan Selatan). Dia terpaksa harus mengikuti pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan transportasi antar jemput mobil milik YPAC, dengan membayar sewa secara bulanan..

- Anak nomor 3 (perempuan) baru masuk semester III Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan karena kakaknya telah menyelesaikan kuliahnya, maka transportasinya dengan menggunakan kendaraan umum, karena kebetulan dia tidak bisa naik sepeda motor atau mengemudikan mobil sendiri. Pada awalnya, dengan mempergunakan mobil Kijang tahun 1988 hasil pembelian lelang di Kantor Inspeksi BRI Yogyakarta, aku menggantikan tugas anak pertamaku. Yaitu antar/jemput anak ke 3 dan kemudian antar/jemput anak nomor, setelah mengajukan permintaan berhenti berlangganan dari mobil antar/jemput milik YPAC.

Berhubung uang pesangon yang aku terima pada saat mengikuti PDS lumayan besarnya, maka mobil kijang ini kemuadian aku jual dan ditambah dengan uang pesangon tersebut, dibelikan sebuah Izusu Panther tahun 1999. Dengan mobil inilah aku melaksanakan profesiku sebagai (pe) ternak teri, yaitu nganter anak pergi-pulang ke SLB untuk anakku yang nomor 2 dan ke Kampus Sugijapranata untuk anakku yang nomor 3. Dan juga nganter isteri pergi-pulang ke pasar untuk belanja kebutuhan dapur sehari-hari. Rasanya ada suatu kenikmatan tersendiri melaksanakan pekerjaan ini, karena selama puluhan tahun tugas tersebut dilaksanakan oleh orang lain, kecuali pada hari Sabtu, Minggu atau libur.

Ada beberapa pengalaman menarik, yang aku jumpai dalam menjalankan profesi baru ini, yaitu:

1. Pada suatu pagi aku ngantar isteri berbelanja ke sebuah pasar tradisional di kota Semarang. Sudah menjadi kebiasaanku aku hanya menunggu di dalam mobil, tidak menyertai isteriku ke dalam pasar. Tiba-tiba datang kearah mobilku, seorang Ibu (keturunan Tionghoa), sambil membawa piring berisi nasi opor di tangan kanan dan minuman di tangan kiri dan berucap: “Fendi, ini sarapan dulu, kan tadi belum makan ?” Aku sangat terkejut, aku tidak kenal dengan orang tersebut kok mau memberi aku sarapan ?” Tetapi ternyata si Ibu tadi tidak langsung mendekat ke mobilku, melainkan ke sebuah mobil yang ada di sampingku.Rupanya, mobil yang diparkir di sebelah mobilku itu, kebetulan nama sopirnya sama dengan namaku.

2.Di suatu Mall, isteriku menemani anakku yang nomor 3 yang akan membeli sesuatu kebutuhan dalam rangka menyelesaikan tugas di Fakultasnya, seperti biasa aku menunggu di dalam mobil. Kebetulan tempat parkir resmi sudah penuh dan aku parkir di pinggir jalan yang ada di sekitar Mall tersebut. Akupun bergabung ngobrol dengan sopir-sopir yang lain. Dan ketika aku melihat mobil keluar dari parkiran, aku masuk mobil dengan maksud mau menggeser mobilku untuk parkir di bekas tempat mobil tadi, agar tidak terlalu jauh dari Mall. Ternyata tukang parkirnya Tanya: “Apakah Boss sudah selesai belanja, Pak ?” Aku jawab: “Belum, aku hanya mau menggeser parkirnya ke sana !” Rupanya isteri dan anakku yang lagi belanja, dikira Boss-ku.

3.Kejadian yang sama, ketika pergi berbelanja ke sebuah toko “Bali” di Semarang. Setelah anak dan isteriku turun dan masuk toko, oleh tukang parkir aku disuruh nggeser kendaraan dan diminta agar mobilnya menghadap ke arah jalan. “Nanti kalau Boss selesai belanja, biar enak dan gampang keluarnya, Pak” , komentarnya.

4.Pada kesempatan lainnya, isteri dan anakku sedang belanja di Pasar Johar, Semarang. Karena capek menunggu, aku numpang duduk di bangku di tempat tukang parkir biasa istirahat, sambil ngobrol-ngobrol. “Bapak masih aktif bekerja ?” Tanya si tukang parkir. Aku jawab bahwa sudah pensiun. “Dulu bekerja di mana pak ?” tanyanya lagi. “Di Kantor BRI”, jawabku sambil menunjuk ke arah Kantor Cabang BRI Patimura yang kebetulan nampak dari kejauhan (walaupun aku tidak pernah bekerja di sana). “Sebagai apa ? Satpam ya ? sebuah pertanyaan yang langsung dijawab sendiri oleh si tukang parkir. Untuk tidak memperpanjang kata, aku hanya mengangguk saja dan tak lama kemudian aku pamit, karena isteri dan anakku sudah menunggu di dekat mobil.

Ketika isteri dan anakku aku ceritai kejadian tersebut di atas, mereka hanya tersenyum sambil berkomentar: “Salahnya sendiri, nggak mau ikut turun dan masuk toko, nggak seperti waktu pacaran dulu”. Iya juga ya. Tapi tak mengapalah, lumayan untuk tambah pengalaman.

Kini aku semakin menyadari, bahwa pangkat, jabatan atau apa saja yang pernah kita miliki adalah benar-benar merupaka titipan dari Allah Swt; dan ketika semuanya itu diambil kembali oleh pemiliknya, maka manusia tidak punya apa-apa lagi.

Ikhtiar pengobatan penyakit CA Rectum


Oleh: Syamsu'udhi Wongsoharsono

Pensiunan Bank BRI tinggal di Jakarta



Setelah membaca tulisan mas Surahyo (putra sulung Alm. Bpk Kaboel Soemarsono) dalam Warta Pamitran edisi bulan Juni 2010, maka tergerak hati untuk sekedar berbagi pengalaman saya sendiri. Jenis penyakit yang menjadi momok umat manusia sampai saat ini, yaitu penyakit TUMOR GANAS alias KANKER. Saya mengalaminya sejak divonis oleh Dr Unggul Budihusodo SPd di RS Omni Pulomas Jakarta tanggal 10 Desember 2009. Saya menderita tumor ganas alias kanker di ujung usus besar yang disebut rectum. Lokasinya diantara ujung usus besar dengan anus.
Seminggu sebelumnya saya memeriksakan kesehatan kepada Dr Unggul, menyampaikan keluhan bahwa saya mengalami kejanggalan dalam BAB (Buang Air Besar) yang mengeluarkan darah setiap kalinya.Dan berdasarkan pengalaman yang menyangkut kondisi kesehatan selama 20 puluh tahunan saya menderita wasir (ambeien, hemorroid) kambuhan. Selama ini selalu langganan berkonsultasi dengan Dr H Sutomo dan selalu dapat diobati dengan baik. Sebenarnya harus dioperasi sejak awal, tetapi selama ini saya tidak bersedia dan selalu berobat dengan “gaya” pengobatan model Dr Sutomo (kalau melakukan tindakan/operasi tanpa rawat inap langsung boleh pulang kerumah). Sebelumnya pada awal munculnya wasir pada tahun 1983 saya berobat kepada seorang Sinshe di Jalan Hayamwuruk Jakarta. Kemudian tahun 1987 saya pindah berobat ke Dr H Sutomo. Dalam pemeriksaan terakhir beliau mengatakan bahwa saya dianjurkan berkonsultasi dengan dokter Internist lainnya sebab ada kemungkin ada kelainan dalam penyakit yg saya derita. Kemudian saya pindah berobat ke Dr Unggul tersebut diatas.

Pada tahap awal saya dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan CT Scan dan ini saya lakukan di RS Persahabatan Jakarta selama beberapa hari. Kesimpulannya saya harus menjalani Endoskopi dan hal tersebut dapat dilakukan di RS dan harus rawat inap, yang saya laksanakan di RS OMNI Pulomas Jakarta selama 2 malam. Hasil dari test inilah yang telah menjatuhkan vonis dokter bahwa saya telah memperoleh karunia penyakit tumor ganas di bagian rectum dan harus segera dioperasi. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar saya saat itu merasa tergetar hati dan harus menerima dengan ikhklas dan sabar mendapat karunia dan cobaan penyakit ini. Dokter mempersilahkan saya pulang dulu dan memikirkan persiapan dan langkah-langkah selanjutnya untuk dirundingkan dengan seluruh keluarga.

Dalam benak terpikirkan bahwa saya tidak ingin dioperasi dan ingin ikhtiar alternatif lainnya yaitu pengobatan non medis. Ketika saya mengalami sakit wasir kambuhan yang telah puluhan tahun, saya tidak sanggup dioperasi dan lebih memilih berobat alternative seperti Sinshe dan dokter Sutomo tersebut diatas. Juga melihat pengalaman beberapa teman yang mengalami operasi yang telah menderita penyakit yg mirip sama.

Kemudian langkah selanjutnya saya dengan keluarga setuju kalau berobat ke Klinik Chongsan di Jakarta, yang baru buka praktek dengan tenaga dokter-dokter dari China mengobati khusus penyakit kanker. Sejak tanggal 13 Des 2009 setiap 10 hari sekali saya datang untuk menjalani therapy oleh seorang dokter. Setelah itu kemudian disuntik di salah satu bagian di kaki secara bergantian yaitu kiri atau kanan, kemudian diinfus di tangan secara bergantian juga yaitu tangan kanan atau kiri. Selanjutnya ketika pulang diberi obat-obat ramuan China untuk diminum selama 10 hari. Ada yang diminum dan ada juga butiran-butiran tablet yang ditelan.

Dalam waktu 10 hari harus datang 4x , jadi dalam sebulan saya telah datang 12x. Kemudian setelah kunjungan yang ke 14 ternyata saya mengalami kesulitan untuk berobat lebih lanjut, karena sejak saaat itu ada inspeksi mendadak dari Kementerian Kesehatan yang melarang praktek pengobatan di Klinik tersebut dilanjutkan. Jadi pengobatan saya di sini berakhir.

Selanjutnya saya mendapat informasi dari kenalan supaya mencoba pengobatan dengan tenaga prana yang dilakukan oleh seorang therapist bernama Bang Yanto di Jakarta dan saya mencoba sejak tanggal 31 Jan 2010. Pada awalnya saya berobat 2x seminggu selama 1 bulan, tetapi karena harus antre lama maka bulan berikutnya saya berobat 1x seminggu. Dan hingga kini sudah 31x berobat dan hasilnya saya merasakan secara berangsur-angsur perlahan-lahan makin membaik.

Disamping pengobatan dengan cara tersebut sejak tanggal 7 Juli 2010 saya juga minum supplement produksi High Desert yaitu produk dengan bahan baku dari madu lebah. Supplement ini sesuai dengan bunyi QS 16 Surat An Nahl : ayat 69 yang artinya …… dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….

Adapun jenis yang saya minum ada 4 macam produk yaitu Bee Propolis, Poll Energy, Royal Jelly dan Clover Honey dengan dosis 3x sehari. Dan saya masih dapat berkonsultasi dengan

Dokter yang ikut dalam multi level marketing produk tersebut.

Dari pengalaman beberapa minggu ini saya merasakan kondisi badan saya makin membaik. Dan dalam bulan Ramadhan yang lalu saya masih terus berobat dengan tenaga prana setiap minggunya. Malah Bang Yanto mengatakan bahwa pengobatan dalam keadaan pasien berpuasa itu lebih baik reaksi bagi tubuh penderita dibanding bulan-bulan biasa. Alhamdulillah

Demikianlah pengalaman saya selama beberapa bulan terakhir ini dalam rangka pengobatan penyakit kanker secara non medis, mudah-mudahan ikhtiar tersebut memperoleh Ridho dari Allah SWT sehingga dapat berhasil dengan baik. Insya Allah!